Jangan terpeleset riya

Ia seorang aktivis kampus, wajahnya terlihat bersinar, dahinya terlihat warna kehitam – hitaman. Di kampusnya dikenal sosok pemuda yang alim, berbagai kegiatan keagamaan di kampusnya hampir bisa dipastikan ia terlibat didalamnya. Di saat rekan – rekannya masih terlelap tidur, ia terlihat sudah ikut shalat shubuh berjamaah di masjid kampusnya.

Saat ia pulang ke kampungnya, kebetulan seorang kakek tetangganya meninggal dunia. Ia begitu kagum kepada sosok kakek tetangganya itu, karena dengan mata kepalanya sendiri sang kakek meninggal dalam keadaan sangat tenang, sebelum meninggalpun sang kakek dengan lancar mengucapkan kalimat tahlil. Iapun tahu kakek tersebut bukanlah seorang ustadz atau kyai, kehidupannya biasa – biasa saja. Sang kakek hidup dalam sebuah rumah yang sangat sederhana, sehari – hari kegiatannya menyabit rumput untuk makan kambing peliharaannya, namun ia tidak pernah ketinggalan sholat jamaah di masjid kampungnya. Iapun pendiam, hanya bicara seperlunya saja, tidak pernah mengeluh.

Sehabis shalat isya di masjid, ia menyempatkan diri bersilaturahim ke tempat guru ngaji yang dulu waktu kecil, mengajarkan Surat Al-Fatihah pertama kalinya.

“Alhamdulillah pak, insya Alloh shalat jamaah jarang saya tinggalkan, berbagai kegiatan keagamaan di kampus saya, saya usahakan selalu terlibat. Di samping itu seringkali sayapun dijadikan sumber referensi teman – teman saya, sayapun terkadang memberi ceramah di acara – acara kampus.” cerita si aktivis kampus kepada guru ngajinya.

“Alhamdulillah, saya ikut senang kalau begitu… semoga kamu termasuk orang – orang yang diberi anugerah dalam beribadah.” komentar guru ngajinya.

“Namun begini…., setelah melihat kakek tetangga saya meninggal dalam keadaan khusnul khotimah, saya jadi merenung dan berintrospeksi, apakah saya besok meninggal dalam keadaan seperti itu ?” ungkap si aktivis.

“Kenapa ?” tanya guru ngaji.

“Seringkali setelah saya shalat berjamaah shubuh terutama, dalam hati saya muncul perasaan “senang sekali”, namun setelah itu muncul pula dalam hati “ternyata saya lebih baik dibanding yang lain yang tidak berjamaah”. Tidak berhenti di situ saja, setelah selesai berceramah di depan teman – teman kampus, tidak hanya perasaan senang yang muncul,”sayapun merasa senang ketika dibelakang saya, mereka memuji – muji saya”. Saya jadi bertanya, ikhlas ga amaliah saya atau malah – malah saya riya’ ?” tanya si aktivis.

Mendengar ungkapan aktivis itu, guru ngajinyapun jadi ikut merenung. Kemudian berkata :
”Saya yakin, secara ilmu kamu mungkin lebih mengetahui karena wawasan kamu lebih luas, pendidikanmu lebih tinggi. Namun barangkali saya mengingatkan, seperti yang diungkapkan oleh Imam Ghozali bahwa apabila didalam diri seseorang yang selesai melakukan suatu ibadah muncul kebahagiaan tanpa berkeinginan memperlihatkannya kepada orang lain maka hal ini tidaklah merusak amalnya karena ibadah yang dilakukan tersebut telah selesai dan keikhlasan terhadap ibadah itu pun sudah selesai dan tidaklah ia menjadi rusak dengan sesuatu yang terjadi setelahnya apalagi apabila ia tidak bersusah payah untuk memperlihatkannya atau membicarakannya. Namun apabila orang itu membicarakannya setelah amal itu dilakukan dan memperlihatkannya maka hal ini ‘berbahaya’.

”Saya tidak menceritakan kepada yang lain, saya hanya merasa senang pak ?” tanya si aktivis.

Guru ngajinya pun menjawab :

”Ya pada awalnya seperti itu….bisikan setan itu teramat halus, pada kondisi – kondisi seperti itu setan mulai membisikkan agar berbuat riya’”

”Ciri – cirinya gimana bisa masuk kategori riya’atau tidak ?” tanya aktivis.

Guru ngajinya pun berkata :
”Menurut pendapat Imam Ali bin Abi Thalib k.w. “Tiga tanda bagi orang yang riya’ adalah malas bila beribadah sendirian, rajin bila beribadah diantara orang banyak, berlebih-lebih ia dalam berbuat amal bila dipuji orang, kurang amalnya bila dicela orang.”

Wallahu a’lam.

Taken from: Http://www.kangtris.com/

—————
Dari Abu Said Al-Khudri -radhiallahu anhu- dia berkata:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah keluar bersama kami, sementara kami sedang berbincang-bincang tentang dahsyatnya fitnah Al-Masih Ad-Dajjal. Maka beliau bersabda, “Maukah aku beritahukan kepada kalian tentang sesuatu yang lebih aku khawatirkan menimpa diri kalian daripada Al-Masih Ad-Dajjal?” Kami menjawab, “Tentu.” Beliau bersabda, “Syirik yang tersembunyi, yaitu seseorang mengerjakan shalat lalu dia membaguskan shalatnya karena ada seseorang yang memperhatikannya.” (HR. Ibnu Majah no. 4194 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 2607)

Dari Abu Hurairah r.a, dia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya manusia paling pertama yang akan dihisab urusannya pada hari kiamat adalah: Seorang lelaki yang mati syahid, lalu dia didatangkan lalu Allah membuat dia mengakui nikmat-nikmatNya dan diapun mengakuinya. Allah berfirman, “Lalu apa yang kamu perbuat padanya?” dia menjawab, “Aku berperang di jalan-Mu sampai aku mati syahid.” Allah berfirman, “Kamu berdusta, akan tetapi sebenarnya kamu berperang agar kamu dikatakan pemberani, dan kamu telah dikatakan seperti itu (di dunia).” Kemudian diperintahkan agar dia diseret di atas wajahnya sampai dia dilemparkan masuk ke dalam neraka. Dan (orang kedua adalah) seseorang yang mempelajari ilmu (agama), mengajarkannya, dan dia membaca (menghafal) Al-Qur`an. Maka dia didatangkan lalu Allah membuat dia mengakui nikmat-nikmatNya dan diapun mengakuinya. Allah berfirman, “Lalu apa yang kamu perbuat padanya?” dia menjawab, “Aku mempelajari ilmu (agama), mengajarkannya, dan aku membaca Al-Qur`an karena-Mu.” Allah berfirman, “Kamu berdusta, akan tetapi sebenarnya kamu menuntut ilmu agar kamu dikatakan seorang alim dan kamu membaca Al-Qur`an agar dikatakan, “Dia adalah qari`,” dan kamu telah dikatakan seperti itu (di dunia).” Kemudian diperintahkan agar dia diseret di atas wajahnya sampai dia dilemparkan masuk ke dalam neraka. Dan (yang ketiga adalah) seseorang yang diberikan keluasan (harta) oleh Allah dan Dia memberikan kepadanya semua jenis harta. Maka dia didatangkan lalu Allah membuat dia mengakui nikmat-nikmatNya dan diapun mengakuinya. Allah berfirman, “Lalu apa yang kamu perbuat padanya?” dia menjawab, “Aku tidak menyisakan satu jalanpun yang Engkau senang kalau seseorang berinfak di situ kecuali aku berinfak di situ untuk-Mu.” Allah berfirman, “Kamu berdusta, akan tetapi sebenarnya kamu melakukan itu agar dikatakan, “Dia adalah orang yang dermawan,” dan kamu telah dikatakan seperti itu (di dunia).” Kemudian diperintahkan agar dia diseret di atas wajahnya sampai dia dilemparkan masuk ke dalam neraka.” (HR. Muslim no. 1905)

~ oleh Raziel pada Mei 25, 2010.

Satu Tanggapan to “Jangan terpeleset riya”

  1. Ya alloh lindungi hamba dari penyakit riya…lindungi hamba dari jeratannya. Jazakallah khoir.

Tinggalkan komentar